Bau basah menghentak
Dami terbangun, dia menarik nafas dalam dan mengerjap-ngerjapkan matanya
terbuka. Dinginnya lantai menusuk bagian depan tubuhnya, dan ketika dia
berusaha membangkitkan dirinya, otot-ototnya protes. Setelah berhasil
bersimpuh, dia melihat sekelilingnya. Perlahan pandangannya terfokus.
Satu-satunya lampu bohlam di atas ruangan ini berkedip-kedip untuk akhirnya
menyala dengan konsisten. Masih terlalu redup, tapi cukup untuk Dami melihat
tekstur dan warna temboknya yang biru keabuan.
Ini gudangku. Tapi
kenapa kosong? Kabut tipis menggantung, dan nafasnya mengeluarkan uap
putih.
Walau punggung, tangan, dan kakinya sakit, Dami berhasil
berdiri tegak. Kepalanya berputar. Aku
pingsan? Berapa lama? Terhuyung-huyung
dia mendekati satu-satunya pintu di tengah sisi tembok di hadapannya, meraba-raba
letak gagang pintunya. Tidak ada gagang pintunya. Dia mundur beberapa langkah
untuk berkonsentrasi melihat ke keseluruhan pintu coklat, berpikir mungkin
letak gagangnya bukan di tempat biasanya gagang berada. Dia jarang masuk ke
gudang ini, jadi mungkin dia lupa dimana gagang pintunya berada.
Dia sekali lagi berputar, sambil melihat ke atas dan ke
bawah, ke kiri dan ke kanan. Kepalanya masih berputar, dan pandangannya
berbayang jika dia bergerak terlalu cepat. Ketika dia kembali menghadap pintu,
daun pintunya sudah hilang. Lorong rumahnya tampil di balik pintu itu. Ruangan
berwarna persik dengan pencahayaan keemasan. Eva yang memilih warna ini. Dami
tidak terlalu suka, karena warnanya terlalu jinak. Terlalu ‘dewasa’. Terlalu
membosankan. Tidak ‘spontan’.
“Eva?” dia berusaha berteriak, tapi ternyata dia serak.
Kenapa aku bangun di sini? Apa Alex dan yang lain mengantarku ke sini? Terlepas
dari cahaya hangat lorong rumahnya, dia masih merasa kedinginan. Ada lagu
kesukaannya terdengar samar samar: Lalalalala
… .
“Eva?” kali ini suaranya lebih jelas. Dia mencium wangi sup
kacang merah. Pinggang bagian belakangnya menusuk setiap dia berusaha
melangkah. Dami berusaha menopang tubuhnya dengan berpegangan ke tembok, yang
dipenuhi dengan gambar-gambar krayon Sandra, putrinya. Dinginnya tembok membuat
Dami terkejut sedikit, untuk kemudian kembali menyentuhnya kembali dengan
ujung-ujung jarinya. Dia mendengar kegaduhan biasa Eva memasak, tapi Eva tidak
menjawab panggilannya. Mungkin Eva tak mendengarnya. Dia akan menghampiri Eva
di dapur dan bertanya apa yang terjadi.
Dami menuruni tangga di tengah lorong, diantara kamar Sandra
dan adik bayinya, si kecil Bob. Lutut-lututnya perih setiap kali dia menuruni
anak-anak tangga. Dia melihat foto-foto yang dipajang di dinding samping
tangga. Foto-foto keluarganya. Dia tidak bisa melihat foto-foto di situ dengan
baik. Sebagian karena sakit di seluruh tubuhnya, sebagian lagi karena perasaan
berputar di kepalanya yang datang dan pergi.
“Halo, Alex?” suara Eva terdengar dari dapur. Alex? Apa urusan Eva dengan Alex?
“Eva?” kali ini Dami sedikit berteriak.
“Alex? Di mana kalian?” Eva tidak menjawab panggilannya, “belum.
Sudah sejam yang lalu? Apa ada yang mengantarnya?” Suara Alex tidak terdengar,
Eva hanya meneleponnya. Dami mendekat ke pintu dapur, mencoba membukanya, untuk
menemukan bahwa gagangnya lenyap lagi. Dami memukul bagian pintu yang
seharusnya bergagang, lalu menggedor-gedor bagian lain dari pintu itu.
“Eva!”
“Iya, aku tidak bisa menelepon dia … dari jam sepuluh?”
“EVA!”
Pintu dapur terbuka lebar. Eva tidak ada di sana. Dapurnya
juga tidak ada di sana. Dami kembali berdiri di lorong atas, ditemani bunyi
detak jam yang semakin lama semakin keras. Jam dinding di ujung lorong
menunjukkan angka sepuluh. Lengan detiknya berusaha maju, tapi hanya berdetak
di tempat. Tik tok tik tok tik tok. “Eva!!” dia berteriak lagi. Kali ini
suaranya terlalu nyaring sehingga gambar-gambar krayon di dinding koridor
berjatuhan ke lantai.
“Mama, papa belum pulang?” suara Sandra terdengar dari
kamarnya. Dami melawan sakit di sendi-sendinya untuk berlari ke kamar Sandra
dan Bob. Di sudut matanya dia melihat gambar-gambar Sandra di lantai
bergetar-getar dalam kertas masing-masing.
“Sandra! Papa di sini. Papa sudah pulang!” teriak Dami
sambil mendekati pintu kamar Sandra. Suara jam dinding bertambah kencang.
Jarumnya tetap diam di angka sepuluh, berusaha berontak maju.
“Mama, papa belum pulang?”
“…dari jam sepuluh?”
“Halo, Alex?”
Lalalalali … Burung
kecil … .
“…sudah sejam yang lalu?”
“Mama, papa belum pulang?”
Pintu kamar Sandra tidak punya gagang pintu lagi. Dami
berusaha menggedornya sambil memanggil nama putrinya.
“Mama, papa belum pu…”
Pintu kamar Sandra terbuka dan Dami menemukan dirinya di
pelataran parkir Bar 56. Daerah itu agak terlalu remang-remang. Hanya ada lampu
kuning, merah dan biru di beberapa titik di horizon. Dami merasakan kelegaan
setelah di dalam bar tadi dia harus berjibaku dengan asap rokok. Dia malas
sekali pulang. Ini malam Sabtu, hak dia untuk berlama-lama minum dengan
teman-temannya. Tapi Eva memaksa dia untuk ada di rumah jam sepuluh nanti. Dia
berjanji membuatkan sup kacang merah jika sekali saja Dami tidak pulang terlalu
malam.
Dia membuka telepon genggamnya. 9:30 PM. Masih terlalu pagi.
Eva. Aku sayang kamu dan anak-anak kita.
Tapi aku tidak bisa menyangkal bahwa kalian membuat hidupku membosankan.
Warna-warni lampu di horizon mengalun dalam pola angka delapan. Dami
bersenandung sesuai lagu yang sedang diputar di dalam bar, dia tersenyum ketika
liriknya sampai di bagian yang dia sukai: Lalalalala…
lalalala lii… burung kecil hinggap di atas Henry Lee… .
“Hey, Dam. Kamu mabuk. Yakin tidak mau tunggu sebentar lagi?”
Alex menggenggam tangan Dami ketika Dami mulai melangkah ke mobilnya, “Aku
panggilkan Uber, ya. Tinggalkan dulu mobilmu di sini. Aku pastikan nanti mereka
akan menjaganya.”
“Tidak usah. Belum semabuk itu.”
“Tunggu, aku ambil jaketku dulu. Biar aku yang antar. Kamu
diam di situ!” Alex berlari masuk ke dalam bar. Dami ingat bahwa dia sebal dengan Alex malam
itu. Sikapnya yang sok perhatian pada teman. Aku bisa menghandle keluargaku kok Alex. Lihat saja nanti aku tunjukkan
kalau mereka tidak menghentikan kemampuan aku untuk bersenang-senang…
Dami ingat dia dengan kesal berlari ke mobilnya. Dami ingat
dia dengan kesal membuka pintu mobilnya, dan menutupnya. Dami ingat dia
menyalakan mesinnya…
Tapi dia tidak ingat apa-apa lagi.
Dia tidak ingat siapa yang berkata “papa belum pulang”. Dia
tidak ingat siapa yang bilang “dari jam sepuluh.” Dia tidak ingat lagi
lorong-lorong bercahaya keemasan dan bau sop kacang merah.
Lalalalala …
Lalalalali … Burung kecil hinggap di atas Henry Lee… .
eh wait,,ini ada lanjutannya kan yaa? aaah terlalu lena di penuturan sampai gak sadar sudah bertemu akhir.
BalasHapusnais job! me likey
kasih nilai dooong kalo sukaaa. sayangnya ga ada lanjutan euy
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusitu gambarnya dari teaser game nya Silent Hill ya? gim syerem.. :((
BalasHapusahelah duplikat komen kok ampe 3 kali *facepalm*
Hapus