Hari ini Ibu Rita wali kelas ku
tidak hadir, anak bungsunya diare dan harus dirawat di rumah sakit, kami
sekelas berbahagia, jahat. Tapi sebagai gantinya, Ibu Rita sudah menyiapkan
banyak tugas, kami sekelas bersedih, karma.
“Nomer 6 cara ngerjainnya gimana sih, Man ?,”tanya
Dwi.
Jam pelajaran terakhir malah
harus mengerjakan tugas matematika, tiga puluh pertanyaan harus dijawab dalam
waktu satu jam, yang sudah selesai boleh pulang duluan. Tidak ada seorang pun
yang mengawasi, teman-teman sudah tidak duduk di bangku mereka masing-masing,
mereka semua berburu jawaban di bangku anak-anak pintar agar bisa cepat pulang,
di bangkuku salahsatunya, tentu saja.
“Nomer 6 yaa, “ aku berfikir sejenak sambil membuka-buka halaman buku tugasku, “jawabannya .. ,”
“Stop !!!,” Dwi melotot. “Aku
bilang cara ngerjainnya, bukan
jawabannya !,” bentak Dwi, kepalan tangannya tepat didepan hidungku. Aku
menarik nafas panjang dan mulai menuruti keinginannya, aku jelaskan dari awal
sampai akhir, merepotkan.
Dia adalah Dwi sahabatku sejak sebelum
Aku masuk sekolah. Keluarganya pindah ke samping rumahku, mereka menempati
sebuah rumah kontrakan kecil, entah berapa meter pesegi ukurannya, aku malas
menghitungnya. Kami sering bermain bersama, terlebih memang tidak ada anak
seusiaku didekat rumah selain Dia. Keluargaku sudah menganggap Dwi seperti anak
mereka sendiri, begitu pun keluarga Dwi sudah menganggap Aku seperti anak
mereka, tapi tentu saja Aku tidak mau menganggap Ayah Si Dwi _Mang Ojan_ yang
tukang mabuk itu sebagai Ayahku, seram rasanya.
Satu per satu teman-teman ku
mulai meninggalkan kelas dengan wajah berseri-seri. Sebenarnya Aku sudah selesai
mengerjakan tugas sejak 10 menit yang lalu tapi sayangnya masih harus menunggu
Si Dwi yang masih asik dengan kertas kotretan,
pulang bareng katanya.
“Yess, Beres !!.”
Pukul 12 lebih 10 menit, Dwi
tersenyum lebar tugas matematika akhirnya berhasil Dia selesaikan, Aku
ikut senang.
Tinggal kami berdua yang tersisa
di kelas, terpaksa kami harus membawa buku tugas teman-teman yang sudah
terkumpul, berat memang tapi apa boleh buat aku tidak boleh kalah dari Si Dwi yang sudah lebih
dulu membawa setengah tumpukan buku ke ruang guru, Aku segera menyusul.
Badannya memang kecil tapi untuk
urusan kegiatan fisik Dwi selalu juara. Aku bisa memanjat pohon sirsak, Dia
manjat pohon kelapa. Aku punya kelereng satu toples gede hasil adu kelereng,
Dia punya 3 toples gede sebagian dijual ke teman-teman di sekolah. Dia juga
juara marathon tingkat RW 3 kali berturut-turut pas 17-an, dasar barbar.
“Ke warung Bu Haji yuk, haus nih pengen es teh.”
“Emm ...,” Aku tertunduk, uang
jajanku sudah habis ketika istirahat tadi pagi.
“Tenaaaang, Aku yang traktir....
,” Dwi tersenyum lebar, aku ikut saja.
Entah kenapa beberapa minggu
terakhir ini Aku merasakan suatu perasaan aneh tiap kali melihat Dwi tersenyum
kepadaku, seolah Dia ingin memakan ku bulat-bulat, ngeri.
Kami masuk ke warung Bu Haji,
entah kapan warung ini pertama kali berdiri, beberapa sisi bangunan warung
sudah lapuk dimakan usia. Meskipun ada banyak penjual lain didepan sekolah
tetapi warung ini tidak pernah sepi pengunjung, Aku salahsatu langganannya.
Dwi membuka termos es dan
mengambil dua bungkus es teh. Kemasannya sangat sederhana, hanya plastik kecil
yang diisi air teh tigaperempat bagiannya saja dan diikat pada bagian ujungnya
sebagai pengaman lalu dibekukan.
“Bu, beli es tehnya dua, “ Dwi
memberikan selembar uang seribu rupiah, Bu haji menyambut dengan senyuman
khasnya, senyum lebar dengan 4 pasang gigi yang terisisa di mulutnya.
“Ini buat kamu...,” Dwi
memberikan bungkus es yang sedikit lebih besar kepadaku, Dwi tersenyum, Aku
tidak bisa menolak.
“senyuman itu lagi...,” gumamku
dalam hati, khawatir hari ini tidak bisa pulang dengan selamat.
“Jangan lupa nanti sore nonton
Robo Rider!, “ nasihat Dwi setiap pulang sekolah.
“Tentu saja, Aku pasti nonton, “ jawabku tak
kalah sengit.
Hari ini melelahkan, Kami jalan
berdua menyusuri jalan yang lengang, matahari tertutup awan sepertinya sebentar lagi akan hujan. Angin bertiup sepoi-sepoi, segar mendinginkan badanku yang kelelahan.
Angin juga memainkan ujung rok Si Dwi perlahan, ah sudahlah, tak usah terlalu diperhatikan.
Bandung, 04 Februari 2016
curhat ini sih kayaknya... :D
BalasHapusga seCurhat itu sh ,,, :D
Hapuscie Jeiman... *gelar tiker*
BalasHapusMan, kali ini agak kurang greget dibanding cerita sebelum-sebelumnya. Punchline nya agak kurang nendang. Tapi ini mungkin memang sengaja ya? Biar lebih mellow?
Suasananya entah kenapa gak terbayang sejernih cerita-cerita lalu. Mungkin kalau interaksi antara narator dengan Dwi dibangun lagi agak lebih dalam ceritanya bisa lebih ngebawa pembaca untuk ngerasain cinta monyet mereka?
Eniwei, gut jab!
uhuyy ,,,
Hapusiya mas,, soalnya si Iman ada di kondisi yang dia ga ngerti ,,
kalo pun dibilang cinta monyet, ini baru satu arah sih :D
selain itu yaa emang si penulis nya lagi mellow sh ,, :v
ahahaha... sok lah kalo mau lanjut curhat silakan lewat japri :D
Hapusmungkin bakal lebih jelas kalau keadaan-keadaan dimana Iman bingung itu agak diperbanyak? atau ditulis keadaan-keadaan dimana si Iman tadinya gak mungkin ngelakuin, tapi dia lakuin untuk Dwi? Padahal sebelum-sebelumnya dia gak bakal mau ngerjain itu.. ini misalnya lho..
ooooh jeiman lagi mellooow? butuh curhat? karoke misalnya?
Hapus^pengeeennn ,, si ernni ngajakin2 tapi ga jadi ,, :(
Hapus@mas iqbal ,, iman ga naksir dwi ko ,, itu ajah sih ,, :D
HapusJadi naksir siapa Man? *uhuk*
HapusBtw nama panjangnya Iman itu Jeiman ya? Switswiw
BalasHapusini mas iqbal yg sama dengan yg diatas ?? atau kembarannya ?? :D
HapusIman itu nama panjang nya Iman Syafa'at :)
Keprok bari luncat.
BalasHapusJeiman lagi-lagi membuktikan keterampilannya menjalin aksi dan eksposisi. Plot melangkah maju effortlessly. Gut jab.
Tapi gw memang merasa hal yang kurang lebih sama ama Mas Iqbal. Ga ada overshadow di awal bahwa sesungguhnya narator sedang naksir sama Dwi. Gw malah menangkap kesan bahwa Dwi sering memperalat narator. Dwi tampil ke pembaca sebagai manipulator. Kebingungan narator sama perasaannya sendiri kurang terasa di awal.
Ga berarti juga tulisan lu ini 'salah' ya man. Tapi mungkin kalo dikasih hal-hal yang kontradiktif sejak awal, pembaca bisa ikut menebak-nebak sebenarnya narator merasa apa, jadi pas punchline, rasanya lebih rewarding kalo tebakannya benar.
well ,,
BalasHapussebenernya di cerita kali ini gw pengen coba gali lebih dalem tentang Si Dwi sh ,, :p
kalo memang pembaca ga ngerasa kalo narator (iman) sesungguhnya sedang naksir ke si Dwi, yaaa bagus, soalnya gw ga coba ngasih info kalo iman naksir Dwi :D,,
dibagian akhir juga dibilang kan ,, ' Angin juga memainkan ujung rok Si Dwi perlahan, ah sudahlah, tak usah terlalu diperhatikan' ,, :)
well, di cerita selanjutnya akan saya coba lagih ,,
makasih mas :)