Satu tahun. Selama itu
lah Andaru tidak memberiku kabar tentang dirinya yang sedang menyelesaikan
pendidikan Magisternya di Jerman sana. Semua media sosialnya tidak pernah aktif,
begitu pula dengan email dan fasilitas chatting lainnya. Tidak ada yang pernah
dia balas atau bahkan dibaca sekalipun.
Satu tahun. Aku tidak pernah tau apakah dia masih hidup? Apakah dia sedang sakit? Apakah dia sudah memiliki kekasih lain? Ah entahlah.
Satu tahun. Aku tidak pernah tau apakah dia masih hidup? Apakah dia sedang sakit? Apakah dia sudah memiliki kekasih lain? Ah entahlah.
Tapi tiba-tiba aku
mendapat sebuah pesan singkat atas nama Andaru.
Laras, aku sudah di Bandung. Aku akan menunggu kamu sore ini di taman tempat
kita pertama kali bertemu. Kamu harus datang ya. Ada banyak hal yang harus aku
jelaskan, bukan? -Andaru
Setelah memastikan berkali-kali
bahwa itu bukan sms iseng, aku pun memutuskan untuk menemuinya. Dia benar, ada
banyak hal yang harus dia jelaskan. Tentang mengapa dia menghilang tanpa kabar
selama satu tahun, tentang bagaimana keadaannya saat ini, tentang pesan-pesan
yang aku kirimkan tapi tidak pernah ia balas. Banyak.
Aku duduk di sebuah
bangku taman menunggu kedatangan Andaru. Awan begitu kelabu, sepertinya
sebentar lagi akan turun hujan. Tapi Andaru belum juga datang.
“Maaf ya lama.”
Tiba-tiba sosok laki-laki dengan tubuh yang tegap berdiri di hadapanku.
Laki-laki itu tersenyum, menampakkan kedua lesung pipi yang dalam.
Matanya yang coklat terang memancarkan sebuah kerinduan yang terpendam. Saat itu angin
bertiup sedikit kencang, membuat aku ingin menghamburkan diri ke dalam dadanya
yang bidang untuk mendapatkan sebuah kehangatan. Tapi itu tidak mungkin aku lakukan sekarang.
Tanpa permisi, dia duduk
di sampingku. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar dan pertanyaan remeh lainnya, aku mulai melontarkan beberapa pertanyaan untuk mendapatkan
penjelasan darinya. Dengan tenang Andaru menjeaskan semuanya satu-persatu. Aku
tidak tahu apakah aku bisa menerima semua penjelasan itu atau tidak. Jujur saja, dengan
mengetahui bahwa Andaru masih hidup saja aku sudah tenang dan bahagia.
Gerimis mulai turun, aku
mengajak Andaru untuk mencari tempat berteduh agar tidak kebasahan. Tapi ketika aku beranjak dari bangku
taman itu, ia menahanku.
“Sebentar Ras. Aku punya
kejutan” Katanya kembali tersenyum. Ia kemudian merogoh saku celananya dan
mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah. Perlahan ia membuka kotak kecil
itu. Tampak sebuah cincin dengan sebuah permata keci berkilau di hadapanku. “Will you marry me?”
Aku menutup mulut dengan kedua tanganku. Air mata meleleh dari kedua sudut mataku. Ketika itu
hujan turun semakin deras, membuat tubuhku kuyup, membasahi sebuah cincin yang
sudah lebih dulu tersemat di jari manisku.
Manis kaya sesendok eskrim dairy quen nutella.
BalasHapusTapi sayangnya cuma sesendok. Jadi berasa kurang gitu.
Mungkin karena pembaca blm mengenal Andaru dan si Aku dengan baik. Aku itu siapa? Kenapa bisa berima Andaru?
Akan menyenangkan kalo ternyata si Aku nolak karena selama setahun ini dia udah move on. Atau bahkan ketika Andadu nyerahin cincin dan ternyata buat orang lain.
Kayanya inti ceritanya itu si Andaru telat Fir. Coba baca kalimat terakhirnya deh
BalasHapusJadi kenapa Andaru ga ngasih kabar selama satu tahun ??
BalasHapusPenasaran sama bagian itu :(
jual hp buat beli cincin...
Hapusjual hp buat beli cincin...
Hapusiya Dhes, iya..
Hapushow could you, Andaru's girlfriend? :(
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapushal yang mau saya komeng, cerita ini fiksi menurut saya, full fiksi, bener-bener full fiksi, tidak dikaitkan dengan keharusan dengan curhat empiris penulis, atau situasi yang sedang dialami, atau , ah sudah gitu aja :((
BalasHapusKalo kata gw, lebih baik lu mulai ceritanya ketika mereka sudah di tempat janjian ketemu. Ceritanya sekarang jadi memiliki 2 setting: ketika narator dapet SMS dan ketika mereka bertemu. Agak kurang efektif si setting pertama karena seluruh emosi yang penting terjadi di setting kedua. Detail ketika dia dapet SMS bisa lu tabur-tabur ketika di setting kedua.
BalasHapusShow, don't tell. Kalo misalnya lu fokus di setting kedua, lu bisa pake cara om Ari di cerita [HUJAN] dia. Menggunakan apa yang diamati si narator di sekeliling dia ketika sedang menunggu si Andaru dan memakainya sebagai refleksi keadaan hati dia. Ini bisa membantu pembaca mengenal si narator lebih jauh dan lebih bisa bersimpati dengan dia. Orang yang sedang senang dan orang yang sedang sedih akan punya pengalaman/perasaan berbeda ketika sedang mengamati keadaan yang sama. Akan lebih menarik kalo lu coba belajar masuk ke kepala si narator dan meletakkan dirilu di settingnya.
Terus bagian2 seperti ini: "Setelah memastikan berkali-kali bahwa itu bukan sms iseng, ..." dan "Setelah berbasa-basi menanyakan kabar dan pertanyaan remeh lainnya, aku mulai melontarkan beberapa pertanyaan untuk mendapatkan penjelasan darinya. Dengan tenang Andaru menjeaskan semuanya satu-persatu." adalah contoh telling, not showing. Usahakan menghindari hal-hal deskriptif seperti ini. Bawa pembaca ikut mengalami kejadiannya. Cara dia memastikan itu bukan sms iseng itu bagaimana? Lalu mereka berbasa-basi tentang apa? Penjelasan yang diminta oleh narator itu apa aja? Kalo lu bisa jembrengin obrolannya, kita kan bisa lebih merasakan karakter mereka, lalu apa aja yang udah dua orang ini alami, dan ultimately, betapa tragisnya keadaan mereka sekarang. Efeknya akan lebih kuat. Sekarang, kejadian ini diceritakan bak laporan peliput aja, yang ga terlibat secara emosional. Dingin gitu, tapi not in a good way.
Gitu aja kalo dari aku. Latihan lagi yaaa <3