“Halo,” ujar Luki pada dunia di depan pintu kosannya.
“Halllooooo,” dunia menyapa balik. Suara mereka keras,
menutupi suara perut lapar Luki yang tadinya dia pikir ternyaring di dunia ini.
Dunia dipenuhi warung-warung penyedia makan pagi, mereka menari dan menyanyi
berebut perhatian Luki, yang hatinya penuh dilema.
Luki melangkah maju setelah mengunci pintunya, lalu
menegaskan dengan suara keras, “kemarin aku dimarahi oleh teman gymku, aku
terlalu banyak karbohidrat, jadi perutku buncit.”
Semua warung-warung itu berhenti sesaat dari tariannya, dan
menoleh ke arah Luki, untuk kemudian melanjutkan lagi lagu dan tarian mereka, “Terus
kenapaaaaaa?” mereka bernyanyi bersamaan, dengan harmoni pendek. Stakato.
“Ya jadi aku harus mencari sarapan yang rendah karbohidrat,”
teriak Luki berusaha mengatasi suara nyanyian dan sentakan fondasi
warung-warung yang berputar-putar di hadapannya. Goose step. “Aku akan memilih
salah satu dari kalian jika kalian mampu memberikanku sarapan yang mengenyangkan,
tanpa karbohidrat. Aku hanya makan karbohidrat sekali saja setiap harinya,
kehormatan itu kuberi pada warung-warung penyedia makan siang.”
Semua warung-warung itu berputar bersamaan. Pirouette.
Memberi jalan pada Luki yang terus berjalan maju. Mereka lalu bernyanyi lembut,
“Ooooohhh... kamu mau mulai makan sehat rupanya,” pianissimo, “ingatkah kamu
betapa kamu membenci konsep itu?”
“Aku ingat,” ujar Luki, “tapi aku ingin six pack. Salahkah
cita-citaku ini?”
Warung-warung itu berpirouette lagi, tapi tidak menjawab
pertanyaan Luki. Luki masih lemas, matanya agak perih karena bangun terlalu pagi,
perutnya mulai terasa asam, kosong.
“Aku saja!” gelegar sebuah warung yang tiba-tiba berhenti di
muka Luki, “kamu suka aku. Kamu suka teteh yang berjualan di sini, karena
menurut kamu dia cekatan. Kamu suka sambal goreng tempe yang lembut kan? Sambalku
juga pas sekali takarannya, tidak terlalu pedas,” nyanyinya dalam nada bariton.
“Kamu itu warung nasi kuning. Nasi itu karbohidrat!” tegas
Luki menatap kaca warung itu.
“Ohooo... tapi sedikit saja. Kamu suka beli di aku karena
porsinya tidak terlalu banyak bukan? Ayolah, kasihan tetehnya nih...” warung
itu memutar tubuhnya dan menunjukkan sang teteh penjualnya yang sedang bekerja
cepat menuang –nuang bahan-bahan ke dalam bungkus kertas coklat. Luki
merindukan gestur-gestur sang teteh, dan membayangkan betapa nikmat nasi
kuningnya, yang kunyitnya tidak terasa terlalu jelas ...
“Minggir,” geram Luki.
“Atau aku saja!” warung lain bergerak ke depan Luki
menggantikan posisi warung nasi kuning, dengan nada alto melantunkan
presentasinya, “indomi ayam bawang dengan telur tiga perempat matang, yang
meleleh ketika kamu potong, disambung coffeemix...”
“Tunggu,” Luki menghentikan aria sang warung indomi, “telur
menarik juga. Apa kamu punya telur ayam kampung? Aku ingin telur ayam kampung
setengah matang. Aku rasa cukup...”
“Aaaaaahhhhh ... sungguh sayang sekali. Telur ayam kampung
terlalu mahal untuk kustok, tapi aku punya pilihan lain, “ dia mengedipkan satu
jendelanya yang bertuliskan ‘indomi rebus, kopi, dan aneka jajanan’
“Pilihan lain?”
“Yaaaa... ada sambal goreng kentang, jengkol, sama nasi
panaaaaaa.....”
“Nasi. Kamu tidak dengar aku tidak ingin karbohidrat?
Menyingkir dari hadapanku,” tegas Luki sambil menyapukan tangan kanannya ke
sebelah kanan. Warung indomi itu menyingkir, den menyingkapkan serentetan
warung-warung yang ukurannya lebih kecil.
“Kamu bisa pilih salah satu dari kami,” nyanyi mereka sambil
menderap-derapkan roda mereka. Suara mereka merdu sekali. Luki selalu suka
aransemen vokal dengan harmoni dekat. Sungguh menggoda. Mereka melanjutkan
nyanyiannya lagi dengan nada meninggi, “ada cilok, ada crepes isi pisang dan
coklat, batagor, roti bakar, seblak, goreng pisang, bala-bala, gehuuuuuuuu ...”
“Cukuuuppp!!! Hentikan lagu ini!!!” teriak Luki membelah udara.
Semua musik berhenti, saat dia jatuh berlutut di jalanan aspal. “Kalian ...
kalian semua tepung ... kalian hanya karbohidrat dan kalori tanpa gizi yang
berarti ..., “ air mata mulai jatuh di pipinya, akibat lulutnya yang sakit
ketika dia berlutut, “Aku ... aku .... aku hanya ingin sarapan yang baik.
Telur, atau ayam yang tidak dideep fried ... yang tidak terlalu processed ...”
Dia berdiri dan menyapu air matanya, “Aku tidak minta
kaviar, atau foie gras, atau sirip ikan hiu yang mahal dan berkelas!!!” dia
menarik ingusnya, “Aku hanya ingin yang sederhana, dan aku berharap negeri ini
memberi pilihan-pilihan sarapan yang juga sederhana. Bukankan kita negeri yang
sederhana? Tapi mengapa ... mengapa ...” Luki tak mampu berkata-kata. Isak
tangisnya menelan kepedihan hati, lutut, dan perutnya. Mungkin untuk hari ini,
nasi kuning saja, atau gorengan. Dia ingin bersikukuh, tapi perutnya tidak bisa
lagi diajak kompromi.
Lalu sebuah warung muncul di hadapannya. Suaranya lembut,
dia menyanyi dengan suara bening tanpa vibrato, tanpa stakato, hanya kemurnian,
“kamu belum pernah mencobaku ...”
Luki mendongakkan wajahnya dan melihat warung buah.
“Kamu selalu melewatiku dengan wajah sinis, tidak pernah
menggubrisku ketika kamu berjalan ke kantormu ... aku kadang bertanya dalam
hati: apakah salahku?”
Luki memandangi warung itu, tapi masih tidak bisa berkata
apa-apa. Dia tahu buah-buahan itu baik, tapi terlalu merepotkan untuk dimakan.
Mereka tidak gurih...
“Cobalah ini, kenyang kok ...” sang warung menawarkan dua
buah apel merah, “gulanya cukup untuk energi, seratnya cukup untuk pencernaan,
dan ada protein juga yang kompleks. Ayo, ambil dulu saja ... “
“Berapaan, A?” tanya Luki ke Aa-aa pedagang buah
“Delapan ribu.”
“Waduh. Ga bisa kurang?”
“Ya kalo belinya satuan gini mah agak mahal, A”
“Ya udah dua aja dulu kalo gitu. Nuhun, A.”
I think surrealism fits you, bruh.
BalasHapushahahaha :D bagus nih Yor. *narik ingus*
BalasHapus*gelar tiker, ngemil timbel* ini lanjutan luki yang kemaren kan yah? perjuangan luki yang jadi sixpack.. hmmm
BalasHapus